Hukum dan Aspek Syariah Pada Jual Beli Sistem Pre-Order

Pre-order atau yang biasa disingkat dengan PO adalah sistem belanja dimana costumer melakukan pemesanan dan pembayaran dahulu di awal, dengan masa tenggang waktu tunggu (estimasi/perkiraan) yang telah diinfokan dan disepakati. Dengan kata lain PO adalah dimana pembeli melakukan pembayaran untuk produk yang dibuat karena produk PO itu produk yang belum ready stock.

Dari gambaran di atas, bisa disimpulkan ada tiga karakteristik pre-order. Yaitu adanya pesanan dari pembeli, barang dan jasa yang akan dibeli tidak ready stock karena harus dibuat terlebih dahulu, serta harga atau uang ditransfer terlebih dahulu.

Penjualan dengan sistem pre-order itu diperbolehkan dalam Islam dengan catatan memenuhi rukun dan syaratnya. Di antaranya, pre-order dengan untuk produk yang halal dan jelas, didepakati, baik sebagai penjual dalam akad salam, atau sebagai penjual jasa membelikan barang pesanan.

Kesimpulan hukum tersebut berdasarkan telaah terhadap substansi dan praktik pre-order, kaidah muamalah terkait serta fatwa DSN MUI terkait. Dari aspek fikih muamalah, model bisnis pre-order ini diperkenankan menurut syariah jika memenuhi rukun dan syarat, di antaranya

• Pertama, objek barang atau jasa yang diperjual belikan itu halal. Oleh karena itu, produk yang merusak akhlak dan barang najis itu tidak boleh diperjualbelikan. Begitu pula produk pre-order itu harus jelas kriterianya dan spesifikasinya. Jika produk yang dijual dengan pre-order ini tidak jelas kriterianya, maka itu tidak diperkenankan karena termasuk gharar.

• Kedua, diantara akad bagi penjual dalam pre-order adalah sebagai agen yang mendapatkan fee dari calon pembeli atau penjual.

Akad yang berlaku dalam transaksi ini adalah akad ijarah, maka berlaku seluruh ketentuan akad ijarah. Di antaranya adalah bahwa fee harus ditentukan di awal berupa nominal atau nisbah, atau sebagai penjual dalam akad jual beli, penjual pre-order sebagai penjual dalam akad salam, penjual menerima harga beli terlebih dahulu dari pembeli, setelah itu penjual membeli barang yang dipesan kepada supplier dan mengirim atau menyerahkan barang yang dipesan kepada pembeli.

Akad salam ini diperbolehkan sesuai dengan hadist riwayat Bukhari dan Ibn ‘abbas yang artinya

“Barang siapa melakukan salaf (salam) hendaknya ia melakukan dengan taraf yang jelals dan timbangan yang jelas untuk jangka waktu yang diketahui” (HR.Bukhari)

Dan sesuai fatwa DSN MUI No05/DSN-MUI/IV/2000 tentang salam, menjelaskan ketentuan akad salam yaitu, bahwa alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, maupun manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kese[akatan, diperbolehkan melakukan salam paralel dengan syarat akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama.

Penyerahan barang sebelum atau pada waktunya. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telat disepakati. Jika pejual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga, tetapi jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli menerimanya ia tidak boleh menuntut diskon. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat dan kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.

Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, ia memiiki dua pilihan: membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya, atau menunggu sampai barang tersedia.

Referensi: Dresssofia.id/pages/pre-order
Buku Fikih Muamalah Kontemporer Ust. Dr. Oni Sahroni, MA,.

Penulis: Atep Saepul Mikdar
Tempat/Tgl. Lahir: Garut, 23 september 2000
Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI
NIM: 41801053

Related posts

Leave a Comment