Mengunjungi Masjid Al Abror Sidoarjo, Cikal Bakal Penyebaran Islam di Kota Delta

ADAKITANEWS, Sidoarjo – Sepintas Masjid Al Abror di Kelurahan Pekauman Kecamatan/Kabupaten Sidoarjo ini memang tak terlihat istimewa. Letaknya yang terlalu masuk di sekitar pusat perdagangan, serta hiruk pikuk padatnya penduduk membuat masjid ini tampak tak terlihat. Namun siapa sangka, Masjid Al Abror mempunyai sejarah besar bagi daerah berjuluk Kota Udang ini. Selain disebut-sebut merupakan cikal bakal pusat penyebaran Islam, masjid ini juga ikut andil mengawali pemerintahan di Kabupaten Sidoarjo.

=========

Bangunan Masjid Al-Abror dari kejauhan memang tampak megah dengan gaya arsitekturnya, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang memandangnya. Pintu masjid dibuat dari kayu jati berkualitas yang dilapisi politur berwarna coklat. Dengan hiasan ornamen kayu jati di salah satu dindingnya, benar-benar memberi kesan kuno dan antik. Saat masuk, tiang-tiang utama yang berfungsi sebagai penyangga masjid juga terlihat masih berdiri kokoh dan tetap terawat hingga sekarang.

Hiasan batu marmer cantik pada bagian bawah tiang penyangga juga semakin menambah penampilan masjid tua itu. Meski kerap dipugar, namun sebagian kekunoannya masih tetap dipertahankan.

Masjid Al Abror dibangun pada 1678 oleh empat orang yang kini makamnya berada di bagian depan masjid. Saat itu ada seorang berasal dari Jawa Tengah bernama Mbah Mulyadi yang datang ke kampung Pekauman . Mbah Mulyadi ini berasal dari Demak, yang lari ke Pekauman karena ada pemberontakan Trunojoyo.

“Lalu bersama tiga orang lainnya yang sudah ada di kampung Pekauman yakni Mbah Badriyah, Mbah Sayid Salim, dan Mbah Musa, bersama-sama membangun Masjid Al Abror ini,” kata Pengurus Masjid, Muhammad Alfan.

Dijelaskan Alfan, pendirian Masjid Al Abror juga erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo yang awalnya masih bernama Kadipaten Sidokare. Masjid yang terletak di timur sungai Jetis ini mengalami pemugaran pada 1859 dan dilakukan oleh Bupati pertama Sidokare, R Notopuro (RTP Tjokro Negoro). Selain itu, ada dua bangunan yang disebut Alfan masih bertahan. Yakni, gerbang putih di sisi utara masjid dan penunjuk waktu dari marmer yang berada tepat di depan pintu masuk.

Menurut Alfan, gerbang putih tersebut mirip gerbang Masjid Sunan Giri, Gresik. Gerbang tersebut hanya bisa dilalui dua orang dan takmir masjid membuka gerbang itu hanya saat Jumat. “Sementara pada hari biasa, gerbang tersebut tertutup rapat,” imbuhnya.

Selain gerbang bercat putih itu, Alfan menyebut jam matahari di sebelah gerbang utama merupakan peninggalan tempo dulu. Pualam putih yang tingginya sekitar 1 meter itu, menjulang tepat di bawah pohon kurma. Ada ukiran angka dan huruf Arab serta arah mata angin di permukaannya.

Menurutnya, pualam itu menjadi penanda waktu salat pada masa atau zamannya. “Dulu, sebelum ada jam, orang-orang berpatokan pada cahaya matahari dan bayangan sebelum salat lima waktu,” paparnya.

Pria 60 tahun itu mengatakan, masjid ini merupakan salah satu ikon pemerintahan Sidoarjo yang dulunya disebut Kadipaten Sidokare. Kawasan Pekauman muncul setelah masjid itu berdiri. “Kiisah pendirian Masjid Al Abror erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo,” jelasnya.

Sidoarjo dulu dikenal sebagai pusat Kerajaan Janggala. Pada masa kolonialisme Hindia Belanda, daerah Sidoarjo bernama Sidokare, yang merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya.

Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R Ng Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Panggabahan (kini Gabahan).

Pada 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi kembali menjadi dua bagian, yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. Sidokare (yang kini adalah Kabupaten Sidoarjo) dipimpin R Notopuro (kemudian bergelar RTP Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan. Ia adalah putra dari RAP Tjokronegoro, Bupati Surabaya. Dan pada tanggal 28 Mei 1859, nama Kabupaten Sidokare, yang memiliki konotasi kurang bagus diubah menjadi Kabupaten Sidoarjo.

Di kawasan Jalan Gajah Mada, lokasi Masjid Al Abror ini, juga pertanda kuat jika sebagai pusat pemerintahan masa lalu adalah dengan keberadaan Pasar Jetis. Pasar ini merupakan pasar lama tempat pertemuan warga Sidoarjo dengan luar daerah, yang saat itu melalui rute transportasi Sungai Porong. Masjid, kuburan, dan rumah-rumah lama yang ada di sekitarnya pun, menandakan ketuaan kampung ini.(sid2)

Keterangan gambar : Masjid Al Abror di kawasan Pekauman.(foto : mus purmadani)

Related posts

Leave a Comment