ADAKITANEWS, Tulungagung – Dua bersaudara, Sri Endah Hari Pujiastuti, 39, dan Edi Sukarman, 29, warga Dusun Krajan Desa Banaran Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung, selama belasan tahun hanya bisa berbaring dan duduk di tempat tidur.
Kakak beradik ini menderita lumpuh layu, yang membuat mereka tidak bisa bergerak. Untuk segala keperluan pribadinya, mereka terpaksa bergantung kepada bantuan saudara-saudaranya yang lain.
Saat dikunjungi Tim Adakitanews.com pada Rabu (13/09), kondisi mereka terlihat memprihatinkan. Badan keduanya kurus hingga terlihat benjolan tulang. Yang dilakukan hanya duduk dan berbaring di kamar tidurnya. “Awalnya saya dan kakak saya, hidup secara normal. Termasuk kondisi badan kami seperti kebanyakan orang pada umumnya,” kata Edi Sukarman, salah satu penderita lumpuh layu.
Lanjut Edi, ketika itu usianya 18 tahun, atau sekitar tahun 2004, tanpa diketahui penyebabnya ia tiba-tiba menderita sakit panas tinggi, hingga semakin hari kondisinya makin memburuk. Kondisi ini, sama dengan yang dialami kakaknya Sri Endah Hari Pujiastuti tiga tahun tahun sebelumnya. Dan gejalanya, sama persis hingga berakhir dengan kelumpuhan.
Tentang penyakitnya ini, baik Edi maupun Sri Endah kakaknya sudah berupaya melakukan pengobatan. Namun anehnya, sampai saat ini belum diketahui jenis penyakit ataupun penyebabnya. “Pertama berobat ke RSUD dr Iskak Karena saat itu tidak ada alatnya, kemudian dirujuk ke Rumah Sakit dr Soetomo Surabaya,” katanya.
Meski kakaknya lebih dulu mengalami kondisi lumpuh layu tersebut, namun Edi lebih dulu memeriksakan diri. Alasannya, kondisi Edi lebih bisa bertahan untuk perjalanan ke Surabaya. Sedangkan Sri Endah Hari Puji Astutik, sudah tak bisa beranjak dari kasur kamarnya.
Seingat Edi, sudah enam kali ia menjalani pemeriksaan serta pengobatan di rumah sakit dr Soetomo. Dirinya, hanya mendapatkan informasi jika penyakitnya merupakan penyakit langka dan masih belum ada obatnya. Bahkan saat itu, Edi mengaku diambil daging paha kanannya, untuk memeriksa apa penyebab yang membuat semua ototnya mengecil.
“Dulu yang menangani tidak hanya dokter dari rumah sakit dr Soetomo. Tapi juga diperiksa dari profesor luar negeri, dari Belanda, Amerika, dan China. Tapi saya tidak tahu namanya, ” katanya.
Untuk obat yang dikonsumsi, lanjut Edi dari enam kali bolak-balik ke Surabaya, dia hanya mendapatkan obat lapibal atau obat kebal. Obat itupun harus dia bagi dengan kakaknya, karena penyakitnya sama. Akhirnya dia memutuskan berhenti berobat dengan alasan tidak ada yang mengantar dan juga terkendala masalah biaya untuk perjalanan. Meski untuk biaya rumah sakit, sudah ditanggung Jamkesmas saat itu.
Keduanya masih berencana, jika ada rezeki akan menjalani pengobatan alternatif dengan mengonsumsi obat herbal. Mereka juga tetap berharap bantuan dari pemerintah daerah. Karena sampai sekarang keduanya mengaku belum mendapat bantuan dari Pemkab Tulungagung.
Meski keluarganya termasuk dalam daftar penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial, namun bantuan itu diakuinya hanya cukup untuk hidup sehari-hari.(ta1)
Keterangan gambar : Sri Endah Hari Pujiastuti dan, Edi Sukarman, penderita penyakit langka yang belum ada obatnya.(foto : acta cahyono)