Sidang BI: Saksi Ahli Jelaskan Tentang Diskresi

ADAKITANEWS, Sidoarjo – Sidang lanjutan mantan Walikota Madiun, Bambang Irianto kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, Juanda, Sidoarjo, Selasa (25/07). Sidang kali ini pihak terdakwa mendatangkan saksi ahli Guru Besar Hukum Administrasi Negara, Universitas Padjajaran Bandung, Prof DR I Gede Pantja Astawa SH MHum.

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim, Unggul Warso tersebut, Prof Gede menjelaskan tentang diskresi. Yakni keputusan yang dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi permasalahan konkret yang dihadapi. “Diskresi boleh dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku,” katanya.

Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum KPK, Fitroh menjelaskan batasan diskresi terletak pada mens rea (niat jahat). “Diskresi boleh diambil namun apabila ada niat jahat misalnya untuk memperkaya pribadi atau golongan yang terafiliasi, maknanya sudah pidana,” ujarnya.

Dalam keterangannya, saksi melihat jelas ada mens rea yang dilakukan karena ada keuntungan yang diperoleh. “Pejabat turut campur dalam proses pengadaan yang seharusnya mengawasi. Selain itu selama menjabat Walikota, yang bersangkutan memungut uang-uang yang tidak sah, dari kontraktor yang menang, melalui Kepala Adbang, lalu uang atas izin yang dikeluarkan di wilayah Madiun. Selain itu ia meminta uang total Rp 6,5 miliar yang katanya untuk Forkopimda dari seluruh SKPD yang ada. Ada juga perintah untuk memotong tunjangan kinerja pegawai senilai Rp 600 ribu untuk eselon 2 dan Rp 300 ribu untuk eselon 3. Dari uang itu, diduga dilakukan pembelian barang-barang miliknya selama ini,” paparnya panjang lebar

Sementara itu, Penasehat Hukum Terdakwa, Indra Priangkasa mengatakan meskipun saksi berasal dari terdakwa namun ia berharap saksi bisa independen dalam memberikan keterangan. “Pasar ini dibangun berdasarkan Perpres 80 tahun 2003, pendapat ahli LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah) yang lalu ketika terjadi mangkrak maka yang harus dilakukan adalah pemutusan kontrak dan menunjuk kembali. Padahal itu Perpres 54 tahun 2010 dan jelas tidak sesuai dengan tempus delictinya,” katanya.

Indra menambahkan dalam Perpres 80 tahun 2003 tidak ada aturan pasar yang mangkrak. “Sehingga ahli tadi mengatakan kepala daerah harus menerbitkan diskresi. Salah satu diterbitkannya diskresi adalah kekosongan aturan hukum. Artinya diskresi yang diambil oleh Kepala Daerah terkait pembangunan pasar itu bisa dibenarkan secara hukum,” jelasnya.

“Tapi tadi ada yang menyebut itu gratifikasi dan muncul pertanyaan apakah itu bisa dipidana? apakah batasan norma jabatan dan norma perilaku. Norma jabatan itu wewenang jabatan sanksinya administrasi sedangkan norma perilaku itu terkait dengan administrasi sanksinya pidana. Batasannya mens rea (niat) apakah ketika terdakwa memerintahkan SKPD untuk memperkaya diri sendiri. Yang terbukti dari keterangan saksi-saksi dana-dana tersebut selama ini untuk Forkopimda,” pungkasnya.(pur)

Keterangan gambar : Saksi ahli Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Padjajaran Bandung, Prof DR I Gede Pantja Astawa SH MHum saat memberikan keterangan pada persidangan.(foto : mus purmadani)

Related posts

Leave a Comment