Menimbang Ulang Golput

Hingar bingar kampanye pemilihan legislatif dan pemilihan presiden telah memasuki babak akhir. Pemilihan Umum secara serentak yang dijadwalkan tanggal 17 April 2019 tinggal menghitung jam, seluruh strategi dan taktik kampanye akan dibuktikan efektifitasnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kinerja calon legislatif dalam menggaet massa, efektifitas mesin partai, dan tim sukses pasangan calon mengajak masyarakat datang ke tempat-tempat pemungutan suara untuk menggunakan hak suaranya diuji hasilnya. Tentu pula dalam hal ini termasuk kinerja penyelenggara pemilu selama menjalankan tahapan, terlihat dari antusiasme masyarakat yang mengikuti proses pemilu 2019.

Sebagai sebuah sarana kedaulatan rakyat, pemilu dalam amanah UU No 7 tahun 2017 diharapkan memberikan legitimasi yang kuat bagi pergantian kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam hal ini legitimasi yang kuat tak hanya sekadar sebagai sebuah prosesi 5 tahunan, tapi legitimasi yang diakui dan mengakomodir setiap pihak. Namun sebagus-bagusnya penyelenggaraan dan kandidat yang mengikuti kontestasi pemilu, tetap saja ada pihak-pihak yang berbeda dan tak menggunakan hak pilihnya atau lebih dikenal dengan Golongan Putih disingkat Golput.

Pada tahun 2014 jumlah golput berdasar pengumuman Komisi Pemilihan Umum Indonesia mencapai 24,89 persen. Di kawasan Asia Tenggara dalam kurun waktu yang berdekatan, Indonesia menempati posisi tertinggi ketiga setelah Thailand dan Filipina pada besaran angka golput dalam pemilu di negara masing-masing. Indonesia berselisih cuma 0.61 persen dibanding Filipina yang memiliki angka golput dalam pemilu sebesar 25,5 persen. Sedangkan di wilayah Asia Tenggara angka Golput dalam pemilu terjadi di Thailand yang mencapai 58,9 persen. Sebuah pemilu dini di Thailand pada bulan Pebruari 2014 sebagai upaya penyelesaian krisis politik yang justru berujung dengan kudeta milter.

Partisipasi Politik dan Golput Dalam Teori

Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik secara umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan langsung atau tidak langsung yang mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya tidak semua masyarakat menempatkan diri aktif dalam mengikuti kegiatan politik. Ada perseorangan atau sebagian masyarakat yang menarik diri dari proses politik. Lester W. Milbrath dan M. L. Goel dalam Political Participation yang terbit di tahun 1977, menyebutnya sebagai Partisipasi Apatis.

Partisipasi Apatis atau Golput menurut Eep Saefulloh Fatah terbentuk oleh 3 faktor utama, yakni, teknis, politis, dan ideologis. Dalam faktor teknis, masyarakat pemilih berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, salah mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah, atau tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan teknis pendataan penyelenggara pemilu. Golput yang dipengaruhi faktor politis disebabkan karena masyarakat menganggap tak ada dari profil kandidat yang mengikuti kontestasi sesuai dengan harapan. Di sisi lain masyarakat pesimis pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan. Sedangkan faktor yang terakhir, yakni golput karena faktor ideologis, masyarakat tak percaya pada mekanisme demokrasi dan tak mau terlibat di dalamnya karena alasan nilai-nilai agama atau alasan ideologi lain.

Khusus untuk pemilu 2019 ini, pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah optimis mematok tingkat partisipasi masyarakat mencapai 77,5 persen atau angka golput akan menurun sekitar 2.39 persen bila dibandingkan dengan pemilu 2014. Namun hasil rilis survei yang dilaksanakan oleh Founding Fathers House (FFH) yang dilaksanakan antara bulan Januari – Maret 2019 dengan melibatkan 1200 responden menunjukkan angka yang tidak menggembirakan. Hanya 57 persen responden yang secara tepat bisa menunjukkan tanggal dan pelaksanaan pemilu. Tentu ini bukan hal yang baik untuk menekan angka golput yang sudah dipatok oleh pemerintah.

Sosialisasi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dinilai kurang maksimal untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat terhadap proses pemilu. Pelaksanaan sosialisasi pada masyarakat pun sudah terhitung cukup lama, semenjak 25 April 2017 lalu. Tentu dengan rentang sosialisasi yang berlangsung selama 2 tahun, harapannya dapat memberikan pengetahuan yang cukup tinggi kepada masyarakat akan proses pemilu. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei yang dilaksanakan oleh FFH. Rendahnya pengetahuan masyarakat ini, tentu akan memberikan tekanan pada faktor golput yang disebabkan oleh hal teknis semakin tinggi. Ini terbukti di PPLN Sydney pada 13 April lalu yang menyebabkan ratusan orang gagal menggunakan hak pilih.

Maraknya isu dan wacana pergantian kekuasaan di tahun 2019, memisahkan masyarakat dalam polarisasi dukungan terhadap pasangan capres dan cawapres yang berkontes. Dibumbui dengan berita bohong, sentimen politik identitas, ujaran kebencian, kampanye hitam, serta tak sedikit melibatkan manuver-manuver politik yang cenderung tidak mendidik. Keriuhan tersebut nyatanya tak berpengaruh signifikan terhadap pengetahuan teknis pemilih berdasarkan survei FFH. Masyarakat pemilih malah cenderung disuguhi atraksi saling bongkar keburukan dan kebusukan, minim isi dan lebih mengumbar sensasi. Hal-hal tersebutlah yang justru kian menguatkan potensi golput pada pemilu 17 April 2019 ini.

Di satu sisi terdapat kelompok yang memilih alternatif, tidak memihak salah satu kubu, lalu menarik diri dan apatis terhadap kondisi yang berlangsung. Hal inilah seperti yang diungkapkan oleh Eep Safulloh Fatah di atas sebagai golput karena faktor politis

Peraturan Tentang Golput

Tidak menggunakan hak pilih di Indonesia diperbolehkan dan dilindungi oleh undang-undang. Ini merujuk Pasal 23 UU HAM yang berisi: “(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Dari sinilah banyak anggota masyarakat yang menganggap golput merupakan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sikap politik untuk tidak memilih dan kemudian menyebarkannya ke khalayak umum juga merupakan bagian dari hak asasi yang tidak bisa dikenai sanksi. Meskipun dalam UU No 7 tahun 2017 pada pasal 515 tertulis “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah”. Namun pasal ini tidak secara jelas menerangkan golput dan sanksi golput. Hanya mengancam pihak-pihak yang memprovokasi untuk golput.

Pun bila misalnya pasal 515 ini digunakan untuk menjerat golput harus mengandung unsur “pada saat pemungutan suara” atau dengan kata lain pada hari pencoblosan. Lalu bagaimana bila ajakan golput tersebut dilaksanakan jauh hari sebelum hari pencoblosan?

Kerugian Golput

Sebuah survei yang dilakukan oleh Quinnipiac University pada September 2017 mengenai Presiden Amerika yang menjabat, menyatakan 51 persen responden merasa malu Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Sebanyak 60 responden menyatakan Trump tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Meski demikian, Donald Trump tetap diangkat sebagai presiden amerika pada 21 Januari 2017 setelah memenangkan pilpres amerika tahun 2016. Kemenangan Trump diduga kuat karena besarnya golput di amerika yang mencapai 131 Juta jiwa atau setara 46,6 persen pemilih. Hal ini menjadi contoh, seburuk apapun calon kandidat, jika ia mampu memobilisasi massa pemilihnya, ia akan menjadi pemenang. Bila golput ikut memilih, bisa jadi hasilnya akan berbeda. Inilah kerugian golput yang pertama.

Kedua, bila golput tidak menggunakan hak pilih, rentan terhadap manipulasi. Kertas suara yang tidak digunakan mempunyai potensi kerawanan disalahgunakan oleh oknum untuk berbuat curang. Berbeda misalnya dengan golput yang datang ke TPS dengan membuat surat suaranya menjadi tidak sah. Sebab surat suara yang tidak sah akan terdokumentasikan secara berjenjang, dari TPS hingga penghitungan secara nasional.

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula proses politik. Selalu ada ketidaksempurnaan dalam prosesnya. Menarik diri dari proses politik sama artinya melepaskan demokrasi tanpa kontrol, melepaskan kedaulatan rakyat kepada pihak-pihak terburuk yang memobilisasi massa. Bila memang tak ada pilihan yang baik, setidaknya kita tidak memilih yang terburuk. Sekurangnya kita bisa memilih kandidat yang memiliki keburukan lebih sedikit daripada kandidat lainnya. Selamat Memilih!

Oleh: Moh. Salim Nabhani

Related posts

Leave a Comment